Ads 468x60px

Wednesday, February 22, 2012

Hukum Calon Pengantin Duduk Bersanding (2)

Banyak kebiasaan tak selaras dengan Syariat Islam. Pendekatan persuasif perlu dilakukan pada calon mempelai.

Menikah menjadi Sunnah Nabi yang harus diikuti oleh umatnya. Bukan hanya itu, dengan menikah bertujuan untuk memperbanyak keturunan sesuai dengan anjuran Nabi. Namun, belakangan muncul polemik : terjadi saat ijab qobul kedua pengantin laki-laki dan perempuan disandingkan duduk bersama. 
Berikut penuturan beberapa praktisi hukum Islam.

Jamak terjadi di masyarakat dan menjadi kebiasaan umum ketika akad nikah berlangsung, pasangan laki-laki dan perempuan didudukkan bareng dengan diberi kerudung yang ditaruh di kepala keduanya. Hal itu seolah tak boleh dilewatkan dalam setiap proses ijab qobul setiap mempelai. Itu pula agaknya yang semakin menjamur karena pengaruh tontonan di sinetron televisi.

Namun, fakta demikian mendapat sorotan tegas dari pakar hukum Islam, Prof Dr Ahmad Zahro, Rektor Unipdu Jombang. Guru besar hukum Islam IAIN Sunan Ampel Surabaya ini menolak secara tegas adanya tradisi semacam itu. Penolakan itu berdasarkan pada nilai-nilai Islam yang mengatur setiap manusia yang bukan mahramnya dilarang keras duduk berdekatan.

Selain itu, larangan demikian dilatarbelakangi kekhawatiran timbulnya fitnah yang muncul di kalangan masyarakat meskipun pasangan yang akan nikah pada akhirnya halal. Langkah demikian dimaksudkan untuk menjaga kehati-hatian dalam menjalankan syariat Islam.

“Saya menolak secara tegas calon mempelai didudukkan bareng dalam prosesi akad nikah, karena jelas keduanya belum halal,” terangnya saat dikonfirmasi Duta, kemarin.
Sebagai bentuk penolakannya pada prosesi demikian, pakar hukum Islam yang kini juga Direktur Masjid Nasional Al-Akbar Surabaya, memberlakukan larangannya di masjid terbesar di Surabaya itu. 

Menurutnya, setiap pasangan yang akan menikah haram untuk disandingkan sebelum ijab qobul selesai.
“Di Masjid al-Akbar saya sudah melarang itu. Pokoknya kalau ada orang yang mau nikah dan duduk bersanding, saya tidak mau memberikan khotbah nikah sebelum keduanya dipisah,” tegasnya.

Tak hanya itu, foto pre-wedding yang selama ini acapkali dilakukan di tengah-tengah masyarakat juga dikecam secara tegas. Karena itu, termasuk bagian dari pengebirian pelaksaan nilai-nalai agama Islam yang seharusnya tak dilakukan oleh setiap orang yang Muslim.

Nabi menjelaskan dalam sabdanya tentang larangan melihat perempuan yang bukan mahramnya. Dalam prosesi akad nikah sudah jamak terjadi, laki-laki dan perempuan yang akan melangsungkan ijab qobul acapkali saling adu pandang. Apalagi yang miris seolah-olah menjadi lumrah adalah selesai akad nikah pengantin pria langsung mendaratkan ciuman dikening wanita.

Secara etika, kata Zahro, duduk bersanding di hadapan penghulu bukan tradisi Islam. Ia mengecam bahwa kebiasaan demikian sebagai budaya Barat yang harus difilter oleh orang Islam bukan malah ditiru. Kalaupun itu dibumikan di Indonesia dan menganggap wajar, lagi-lagi Zahro menganggap tidak pantas. “Ya tidak pantaslah ditiru oleh orang Islam Indonesia,” imbuhnya.

Keduanya disandingkan tidak memiliki keuntungan. “Apa sih untungnya disandingkan. Yang ada malah mudlarat,” katanya. 
Perilaku demikian sudah masuk dalam wilayah etika sosial bukan lagi dalam koridor hukum. Dengan demikian, kalau masih dalam ranah hukum banyak pendapat yang berseberangan antara memperbolehkan dan melarangnya, tapi dalam etika sosial lebih menekankan pada opini dalam masyarakat.

Dalam padangan Ahmad Zahro, penyandingan dua mempelai itu tidak pantas. Tetapi kalau disandingkan setelah ijab qobul, Zahro menganggap hal itu boleh-boleh saja sepanjang tidak menimbulkan unsur pornografi seperti berciuman.

Karena fikih sosial lebih menekankan pada unsur etika dibandingkan dengan hukum. Kalau hukum boleh ditafsirkan beragam sesuai kapasitas penafsir. Tetapi kalau fikih sosial merujuk pada opini yang berkembang dalam masyarakat.

“Katakanlah suami istri boleh ngapain saja tetapi kalau di tengah jalan mereka berciuman dan bermesra-mesraan di tempat umum secara fikih sosial itu tidak boleh,” kata Zahro.
Zahro tidak takut mengatakan secara jelas, meski duduk bersanding saat melangsungkan akad nikah menjadi tradisi. Baginya, prosesi demikian sudah dengan jelas dan tegas menyalahi etika sosial. “Saya teriak sejak selama itu tidak boleh,” imbuhnya.

Dalam Islam ada dalil yang menyatakan kebiasaan menjadi hukum (al-ádatu muhakkamah). Tetapi bagi Zahro ulama’ yang memperbolehkan duduk bersanding dengan alasan tradisi perlu dipertanyakan kualitas pengetahuan agamanya.

Direktur Pascasarjana IAIN Sunan Ampel Surabaya, Prof Dr Ridlwan Nasir juga menyikapi fenomena itu yang selama ini sudah biasa dilakukan masyarakat umum. Menurutnya, pelaksaan demikian jelas melanggar syariat Islam. Pernyataan itu dilatarbelakangi untuk menjaga kehati-hatian dalam menjalankan perintah Nabi. “Itu ada dua pendapat, yang ikhtiyad (hati-hati) sebelum terjadi ijab qobul kedua mempelai dipisahkan dulu meskipun masih dalam satu majelis,” teranganya.

Karena keduanya masih belum muhrim, artinya keduanya masih masuk dalam bagian larangan bersentuhan dalam Islam. Tetapi ada juga yang memperbolehkan sepanjang tidak perpegangan tangan apalagi sampai berciuman.

“Pendapat yang kedua memperbolehkan asalkan tidak berpegangan tangan, tapi untuk menjaga kehati-hatian sebaiknya mengikuti pendapat yang pertama,” pungkasnya. * bersambung

0 komen..:

Post a Comment

Terima kasih atas partisipasi komentarnya... ^.^