Ads 468x60px

Wednesday, February 22, 2012

Hukum Calon Pengantin Duduk Bersanding (3)


Berbincang tentang pernikahan seakan tak pernah habis. Hal itu banyak unsur menarik yang memikat orang untuk membicarakannya, mulai dari pre-wedding, ijab kabul sampai pada menjalani biduk rumah tangga. Tetapi yang menjadi perhatian utama adalah arah menuju sahnya pernikahan seperti ijab kabul masih menjadi perdebatan yang berkepanjangan di antara para pakar hukum Islam.

Lazimnya hukum Islam, larangan duduk bersanding dua mempelai saat menjalani prosesi ijab kabul tak lepas dari pro dan kontra para ulama’. Pada edisi sebelumnya, dua pakar hukim Islam yang sudah malang melintang di Indonesia, Prof Ahmad Zahro dan Prof Ridlwan Nasir menjelaskan bahwa duduk berdua saat mengikat janji pernikahan tidak boleh dalam Islam.

Alasan yang dijadikan sumber pengambilan hukumnya adalah dua insan berbeda jenis itu bukan termasuk mahram (tidak ada ikatan darah). Karena itu, Ahmad Zahro secara tegas menolak prosesi demikian. Bahkan ia tidak berkenan memberikan khotbah nikah jika perempuan dan lelaki calon pengantin duduk berdua.

Namun, masyarakat yang biasa menjalaninya patut bernafas lega karena tidak semua pakar Islam mengharamkan. Pasalnya, pendapat yang memperbolehkannya menganggap bahwa larangan ulama’ hanya sebatas pada dimungkinkan munculnya syahwat antara dua mempelai yang kemudian berdampak pada saling berpegangan dan bahkan saling cium seperti yang selama ini dipertontonkan dalam masyarakat umum.

Moch Khairul Anwar menjelaskan bahwa keberadaan kedua mempelai laki-laki dan perempuan menjadi rukun yang harus dipenuhi dalam akad nikah. “Orang menikah itu ‘kan harus ada calon, kalau tidak ada semisal nikah dengan orang mati itu tidak sah,” jelasnya. 

Baginya penyandingan itu tak memiliki aturan yang secara eksplisit melarang. Yang perlu diperhatikan dalam akad nikah adalah kelengkapan rukun pernikahan, termasuk adanya calon perempuan.

Penyandingan dua mempelai dalam masyarakat tertentu sudah menjadi tradisi yang secara turun- temurun dilakukan. Apalagi, masyarakat secara umum menganggap duduk berdua tidak akan menimbulkan syahwat seperti yang dikhawatirkan para pakar yang tidak memperbolehkan penyandingan.
Dalam Islam, pernikahan harus diumumkan supaya semua orang tahu. Penyandingan dalam pengertian masyarakat merupakan bagian dari proses memperkenalkan mempelai kepada khalayak umum. Dengan demikian, tidak ada unsur kerahasiaan dalam perkawinan karenya selama ini tradisi demikian dianggap baik.
“Itu hanya tradisi, sepanjang tidak ada fitnah sah-sah saja, yang tidak boleh kalau melanggar syariat seperti berpegangan karena belum muhrim,” jelas anggota Komisi Fatwa MUI Jawa Timur ini.
Bagi Anwar, tradisi penyandingan selama tidak bertentangan dengan aturan Islam, karena itu boleh-boleh saja. Penyandingan seperti yang dipraktikkan masyarakat selama ini tidak sampai menimbulkan fitnah dan syahwat seperti yang menjadi ketakutan pakar hukum Islam yang melarangnya.”Budaya boleh saja sepanjang tidak bertentangan dengan syariat,” imbuhnya.

Apalagi penyandingan dua mempelai bertujuan untuk menikah yang oleh Nabi disunnahkan. Setelah sah menjadi suami-istri maka keduanya menjadi boleh melakukan apa saja yang sebelumnya dilarang agama. 

Anwar menyatakan duduk berduaan tidak termasuk dalam larangan yang ada dalam Al-Quran surah al-Isra ayat 32. “Dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji, dan suatu jalan yang buruk.” Artinya bahwa segala perbuatan apa saja yang merangsang terjadinya perzinahan seperti berduaan tidak boleh dilakukan.

“Tidak, itu tidak masuk dalam surah itu, justru berduaan ini (berduaan untuk prosesi akad nikah, red) bertujuan untuk menghalalkan hubungan yang akan menghindari perzinahan,” jelasnya.
Senada dengan Anwar, Prof Faishal Haq, guru besar hukum Islam IAIN Sunan Ampel Surabaya juga membolehkan penyandingan saat akad nikah. Mengingat, dalam akad nikah mempelai tidak sedang berduaan karena mereka mengikat janji di hadapan saksi dan wali, bahkan juga prosesi pernikahan biasa disaksikan orang banyak.

“Pendapat yang longgar itu memperbolehkan, karena mereka tidak sedang berduaan seperti yang dilarang dalam Hadits Nabi,” ungkapnya.

Tapi, pada umumnya ulama’, kata Faishal, menghukumi haram untuk menjaga kehati-hatian timbulnya fitnah dan syahwat. Bukan tidak mungkin jika sudah berduaan maka mempelai berpegangan tangan yang secara agama sebelum sah dilarang bersentuhan apalagi berpegangan tangan.

Bukan hanya pada proses ijab kabul. Faishal juga menilai, masyarakat secara umum yang berdempetan dan bukan mahram seperti yang terjadi selama ini juga dilarang secara agama. Karena agama tidak memperbolehkan dua insan beda jenis yang bukan mahram bersentuhan bahkan juga meski saling adu pandang.

Meskipun menjadi tradisi harus dihindari, penyandingan mempelai baginya masuk pada tradisi fashid (buruk). “Tradisi itu ada dua, ada yang shahih (baik) dan fashid, kalau ijba kabul disandingkan masuk yang fashid,” jelasnya.

Namun Faishal menganggap, di antara dua pendapat yang melarang dan membolehkan yang lebih mendekati pada kebenaran adalah yang membolehkan. Faishal mendasarkan pernyataannya pada hadits nabi yang menyatakan bahwa “Janganlah salah satu diantara kamu bersepi-sepian dengan orang perempuan karena yang ketiga syaitan.” Merujuk pada sabda Nabi ini jelas pada proses akad nikah tidak hanya duduk berduaan, karena ada saksi dan wali serta masyarakat yang menyaksikan.

Karena itu, kalau dianalisis pelarangan duduk berdua tidak berdasarkan pada hadits ini. Apalagi dipertegas dengan hadits nabi Muhammad SWA bahwa “tidak boleh laki dan perempuan berduaan kecuali dideketnya ada muhrimnya.”

Hadits ini dapat dipahami dengan disepakati, wali nikah tentu muhrim dari orang perempuan yang tak lain adalah bapak kandungnya sendiri. Dengan demikian bentuk pemahaman yang melarang penyandingan bisa mentah jika merujuk pada dua hadits Nabi ini.

“Yang mendekati kebenaran justru yang memperbolehkan, tapi di Indonesi yang lebih dominan adalah dilakukan oleh masyarakat yaitu yang melarang penyandingan,” pungkas Dekan Fakultas Syariah IAIN Sunan Ampel ini. * bersambung

Hukum Calon Pengantin Duduk Bersanding (2)

Banyak kebiasaan tak selaras dengan Syariat Islam. Pendekatan persuasif perlu dilakukan pada calon mempelai.

Menikah menjadi Sunnah Nabi yang harus diikuti oleh umatnya. Bukan hanya itu, dengan menikah bertujuan untuk memperbanyak keturunan sesuai dengan anjuran Nabi. Namun, belakangan muncul polemik : terjadi saat ijab qobul kedua pengantin laki-laki dan perempuan disandingkan duduk bersama. 
Berikut penuturan beberapa praktisi hukum Islam.

Jamak terjadi di masyarakat dan menjadi kebiasaan umum ketika akad nikah berlangsung, pasangan laki-laki dan perempuan didudukkan bareng dengan diberi kerudung yang ditaruh di kepala keduanya. Hal itu seolah tak boleh dilewatkan dalam setiap proses ijab qobul setiap mempelai. Itu pula agaknya yang semakin menjamur karena pengaruh tontonan di sinetron televisi.

Namun, fakta demikian mendapat sorotan tegas dari pakar hukum Islam, Prof Dr Ahmad Zahro, Rektor Unipdu Jombang. Guru besar hukum Islam IAIN Sunan Ampel Surabaya ini menolak secara tegas adanya tradisi semacam itu. Penolakan itu berdasarkan pada nilai-nilai Islam yang mengatur setiap manusia yang bukan mahramnya dilarang keras duduk berdekatan.

Selain itu, larangan demikian dilatarbelakangi kekhawatiran timbulnya fitnah yang muncul di kalangan masyarakat meskipun pasangan yang akan nikah pada akhirnya halal. Langkah demikian dimaksudkan untuk menjaga kehati-hatian dalam menjalankan syariat Islam.

“Saya menolak secara tegas calon mempelai didudukkan bareng dalam prosesi akad nikah, karena jelas keduanya belum halal,” terangnya saat dikonfirmasi Duta, kemarin.
Sebagai bentuk penolakannya pada prosesi demikian, pakar hukum Islam yang kini juga Direktur Masjid Nasional Al-Akbar Surabaya, memberlakukan larangannya di masjid terbesar di Surabaya itu. 

Menurutnya, setiap pasangan yang akan menikah haram untuk disandingkan sebelum ijab qobul selesai.
“Di Masjid al-Akbar saya sudah melarang itu. Pokoknya kalau ada orang yang mau nikah dan duduk bersanding, saya tidak mau memberikan khotbah nikah sebelum keduanya dipisah,” tegasnya.

Tak hanya itu, foto pre-wedding yang selama ini acapkali dilakukan di tengah-tengah masyarakat juga dikecam secara tegas. Karena itu, termasuk bagian dari pengebirian pelaksaan nilai-nalai agama Islam yang seharusnya tak dilakukan oleh setiap orang yang Muslim.

Nabi menjelaskan dalam sabdanya tentang larangan melihat perempuan yang bukan mahramnya. Dalam prosesi akad nikah sudah jamak terjadi, laki-laki dan perempuan yang akan melangsungkan ijab qobul acapkali saling adu pandang. Apalagi yang miris seolah-olah menjadi lumrah adalah selesai akad nikah pengantin pria langsung mendaratkan ciuman dikening wanita.

Secara etika, kata Zahro, duduk bersanding di hadapan penghulu bukan tradisi Islam. Ia mengecam bahwa kebiasaan demikian sebagai budaya Barat yang harus difilter oleh orang Islam bukan malah ditiru. Kalaupun itu dibumikan di Indonesia dan menganggap wajar, lagi-lagi Zahro menganggap tidak pantas. “Ya tidak pantaslah ditiru oleh orang Islam Indonesia,” imbuhnya.

Keduanya disandingkan tidak memiliki keuntungan. “Apa sih untungnya disandingkan. Yang ada malah mudlarat,” katanya. 
Perilaku demikian sudah masuk dalam wilayah etika sosial bukan lagi dalam koridor hukum. Dengan demikian, kalau masih dalam ranah hukum banyak pendapat yang berseberangan antara memperbolehkan dan melarangnya, tapi dalam etika sosial lebih menekankan pada opini dalam masyarakat.

Dalam padangan Ahmad Zahro, penyandingan dua mempelai itu tidak pantas. Tetapi kalau disandingkan setelah ijab qobul, Zahro menganggap hal itu boleh-boleh saja sepanjang tidak menimbulkan unsur pornografi seperti berciuman.

Karena fikih sosial lebih menekankan pada unsur etika dibandingkan dengan hukum. Kalau hukum boleh ditafsirkan beragam sesuai kapasitas penafsir. Tetapi kalau fikih sosial merujuk pada opini yang berkembang dalam masyarakat.

“Katakanlah suami istri boleh ngapain saja tetapi kalau di tengah jalan mereka berciuman dan bermesra-mesraan di tempat umum secara fikih sosial itu tidak boleh,” kata Zahro.
Zahro tidak takut mengatakan secara jelas, meski duduk bersanding saat melangsungkan akad nikah menjadi tradisi. Baginya, prosesi demikian sudah dengan jelas dan tegas menyalahi etika sosial. “Saya teriak sejak selama itu tidak boleh,” imbuhnya.

Dalam Islam ada dalil yang menyatakan kebiasaan menjadi hukum (al-ádatu muhakkamah). Tetapi bagi Zahro ulama’ yang memperbolehkan duduk bersanding dengan alasan tradisi perlu dipertanyakan kualitas pengetahuan agamanya.

Direktur Pascasarjana IAIN Sunan Ampel Surabaya, Prof Dr Ridlwan Nasir juga menyikapi fenomena itu yang selama ini sudah biasa dilakukan masyarakat umum. Menurutnya, pelaksaan demikian jelas melanggar syariat Islam. Pernyataan itu dilatarbelakangi untuk menjaga kehati-hatian dalam menjalankan perintah Nabi. “Itu ada dua pendapat, yang ikhtiyad (hati-hati) sebelum terjadi ijab qobul kedua mempelai dipisahkan dulu meskipun masih dalam satu majelis,” teranganya.

Karena keduanya masih belum muhrim, artinya keduanya masih masuk dalam bagian larangan bersentuhan dalam Islam. Tetapi ada juga yang memperbolehkan sepanjang tidak perpegangan tangan apalagi sampai berciuman.

“Pendapat yang kedua memperbolehkan asalkan tidak berpegangan tangan, tapi untuk menjaga kehati-hatian sebaiknya mengikuti pendapat yang pertama,” pungkasnya. * bersambung

Hukum Calon Pengantin Duduk Bersanding

Pelaksanaan syariat seringkali berbenturan dengan tradisi masyarakat. Bagaimana para ulama menyikapinya, seperti dalam proses akad nikah?

Nikah merupakan Sunnah para Nabi pada umumnya dan merupakan Sunnah Muthaharah (yang suci dan mensucikan) yang dianjurkan dan dipraktikkan juga oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam (SAW) dalam bentuk yang sebaik-baiknya. Selain itu, nikah juga merupakan jalan yang penting dan utama untuk mencapai kesucian diri, karena padanya ada benteng yang mampu membendung perkara-perkara yang diharamkan Allah. Sehingga bagi seorang Muslim dan Muslimah proses dari awal sampai akhirnya pun haruslah sejalan dengan apa yang telah dicontohkan oleh Allah dan Rasul-Nya. 

Karena itu, para kiai dan ulama menganjurkan, hendaknya laki-laki atau perempuan yang hendak menikah terlebih dahulu mempertimbangkan keadaan agama pasangannya. Dengan melihat bagaimanakah sikap beragamanya taat atau lalai atau lebih jauh lagi tidak peduli agama. Karena ini merupakan dasar yang utama yang akan sangat mempengaruhi baik tidaknya sebuah rumah tangga. 

Rasulullah SAW bersabda: “Dinikahi perempuan itu (umumnya) karena 4 perkara: yaitu karena hartanya, karena nasabnya, karena cantiknya dan karena agamanya, maka pilihlah perempuan yang baik beragama, niscaya engkau bahagia.” (mutafakun ‘Alaihi).

Bentuk pelaksanaan akad nikah pada umumnya, kedua calon mempelai duduk bersama di depan penghulu. Pada saat itulah, sementara masyarakat, yang kemudian kepala kedua mempelai ditutup dengan kain. Ya, disandingkannya calon pengantin di depan penghulu, merupakan bagian dari prosesi pernikahan yang tak asing di masa kita.

Didudukkannya calon pengantin, yaitu calon pengantin laki-laki disamping calon pengantin perempuan menyalahi syariat, karena laki-laki dan perempuan yang bukan mahramnya haram duduk saling berdekatan, meskipun kemudian akan menjadi pasangan suami isteri. Sebelum akad nikah dilakukan mereka berdua tidak dibenarkan duduk berdampingan.

Dalam buku Shahih Fiqih Sunnah seperti disebutkan adanya larangan mendudukkan pengantin laki-laki dan perempuan berdampingan, dan ini dikatakan sebagai kesalahan besar. Ini diharamkan karena beberapa alasan, diantaranya, karena laki-laki dapat leluasa menemui perempuan. 

Alasan lainnya, karena kaum laki-laki dan kaum perempuan dapat leluasa berpandangan satu sama lain. Apalagi kedua jenis manusia itu berada dalam puncak perhiasannya. Keharaman duduk bersanding pengantin ini ditetapkan keharamannya oleh Dewan Ulama Besar Arab Saudi.

Syaikh Ibnu Utsaimin dalam fatwa yang dimuat dalam buku Fatwa-Fatwa Kotemporer, ketika ditanya mengenai apa hukumnya tentang yang dilakukan oleh sebagian orang pada saat pesta pernikahan dimana mereka menyandingkan kedua mempelai di depan kaum perempuan dan mendudukkannya di kursi pengantin, pasangan pengantin itu haram hukumnya dan tidak boleh dilakukan, karena disandingkannya kedua mempelai pada acara tersebut menimbulkan fitnah (maksiat) dan membangkitkan gairah syahwat , bahkan bisa berbahaya terhadap mempelai perempuan, karena bisa saja mempelai pria melihat perempuan yang ada dihadapnnya yang lebih cantik daripada mempelai perempuan (isterinya ) dan lebih bagus posturnya,hingga ia kurang tertarik kepada isteri yang ada disampingnya. Ketika itu, ia mengira sebelumnya bahwa isterinya yang paling cantik dan lebih bagus. 

Maka wajib hukumnya menghindari perbuatan seperti itu ( menyandingkan kedua mempelai di depan undangan ). Semua kebiasaan buruk seperti itu bukanlah kebiasaan kaum Muslimin, melainkan kebiasaan dan adat yang diada-adakan yang dibawa oleh musuh-musuh Islam kepada kaum Muslimin dan mereka pun mengikuti dan menirukannya.

Tidak berbeda apa yang dijelaskan Syaikh bin Baz dalam buku yang sama, menjawab pertanyaan sekitar duduk bersandingnya pengantian di depan undangan. Disebutkan, di antara perkara munkar yang dilakukan banyak orang pada zaman sekarang ini adalah meletakkan tempat duduk (kursi pengantin) bagi kedua mempelai di hadapan para tamu undangan. 
bersambung